Monday, August 13, 2007

Emosi Sebuah Foto

Salah satu Karya Indra foto Pramoedya Ananta Toer

Menjadi fotografer lebih dari sekadar meneruskan usaha tradisi keluarga. Meski lahir dan besar di dunia fotografi, belum tentu orang bisa menjadi fotografer yang baik. Apa resepnya?

Tak berlebihan memang jika Indra Leonardi dikenal sebagai seorang fotografer Potraits yang dikenal luas. Kemampuannya membawa emosi obyek ke dalam fotonya demikian menyentuh. Dengan jenius dia mampu menggabungkan teknik fotografi, emosi dirinya dan sang obyek ke dalam estetika gambar yang berkarakter. Interaksi itu terjalin mulus seolah tanpa beban sehingga emosi yang keluar adalah sebuah tautan yang tidak saling tumpang tindih antara karakter fotografer dan obyek.

Dunia fotografi sendiri sejatinya merupakan dunia yang telah lekat pada diri Indra semenjak kecil. Ayahnya adalah seorang fotografer sekaligus pendiri studio King Foto. “Jadi bagi saya fotografi sudah menjadi aliran darah,”ujar Indra. Namun bukan hanya alasan itu yang membuat Indra tergerak untuk mengetahui fotogarfi lebih jauh. “Sebenarnya di luar pengaruh ayah, saya memang telah tertarik dengan seni. Mulai lukisan, patung, arsitektur, disain termasuk fotografi,” papar Indra.

Untuk lebih mendalami fotografi Indra pun belajar di Brooks Institute of Photography Santa Barbara, Amerika Serikat. Hasilnya, Ia mempunyai bekal teknik fotografi yang lebih matang. “Dengan basic yang baik akan mempermudah kita dalam melakukan eksperimen-eksperimen baru,” paparnya. Pada awal berkarya Ia mengaku terinspirasi aneka foto yang mempunyai rasa hingga menembus dimensi tertentu. Menurut Indra, “Karya yang bagus dari fotografer manapun menjadi masukan penting sekaligus sumber saya berimajinasi.”

Seiring bergulirnya waktu Indra akhirnya menemukan tastenya yang merupakan nilai lebih dari seorang fotogrfer. “Photography is general. But style is personal,” paparnya. Dan untuk menemukan gaya itu dituntut kejelian bisa melihat kelebihan atau kekurangan diri sendiri. Dan baginya seorang fotografer harus percaya bahwa foto yang akan dibuat besok atau hari ini merupakan karya terbaik. Dengan demikian muncul stimulus untuk bisa berkarya lebih baik lagi.

Potraits dan Seratus tokoh
Menjadi fotografer portrait pada dasarnya bukanlah profesi yang mudah. Menurut Indra proses kreatifnya selalu penuh tantangan. “Kita harus mendapatkan soulnya.Untuk itu saya harus menyerahkan jiwa saya sebelum menghadirkan jiwa orang tersebut ke dalam fotografi yang saya buat,” tuturnya. Dalam mendapatkan jiwa itu, biasanya Indra akan membangun sebuah hubungan psikologis yang kuat, guna menarik keluar sisi terdalam mereka. “Untuk dapat mengetahui karakter seseorang, saya harus komunikasi, melihat rumahnya, cara berjalan, atau berpakaian. Dan pastinya setiap orang berbeda meskipun mereka dilahirkan kembar,” tukas Indra.
Dan belum lama ini tepatnya tanggal 24 Maret-1 April 2007 silam, ia berhasil “merekam” seratus tokoh dalam pameran sekaligus peluncuran bukunya berjudul Indonesian Portraits. Pada kesempatan itu, ia menghadirkan wajah-wajah toko di Indonesia. Diantaranya: Garin Nugroho, Sardono W. Kusumo, WS Rendra, Bob Sadino, Titi DJ, Chris Jon hinga Presiden Susilo Bambang Yudhono.
Dengan takaran foto yang luar biasa, Indra tetap melakukan pendekatan sederhana dalam memotret. “Secara teknik pencahayaan dalam pemotretan saya, rata-rata sederhana meski terkadang ada juga yang ribet,” ujarnya. Dengan tujuan mengeluarkan jiwa objeknya, maka Indra lebih menitik beratkan sisi tersebut ketimbang yang lain. “Saat pemotretan terutama yang ada karakter, saya lebih mementingkan aura dari orang itu. Jadi waktu motret, saya sudah tidak memikirkan apakah lampunya nyala atau tidak nih, lighting nya hingga f-berapa,” paparnya.

Selain itu previsualisasi menurutnya memgang pernanan penting, sehingga sebelum memotret ia sudah memiliki gambaran seperti apa foto yang akan dihasilkannya kelak. Sebagai senjatanya, ia mengandalkan Canon 1 DS Mark II. Menurutnya kamera ini sesuai dengan karakternya dengan kepraktisan dan kecepatannya. Bagi mereka yang berniat menjadi fotografer yang baik Indra mempunyai pesan,”Dont stop learning. Kita punya dua kuping dan satu mulut, harus banyak menerima in put. Dan yang paling penting Be your self, idealisme harus ada meski harus tetap fleksibel,” katanya lantas tersenyum.

Menuju Dunia Nan Damai


Di era ilmu pengetahuan dan teknologi modern, proses keratif tak bisa dibendung. Tapi dibalik itu, manusia tak boleh kehilangan rasa kemanusiaan, sekaligus harta terbesarnya semenjak lahir, untuk terus mengumandangkan nilai-nilai perdamaian.

Bersama bergemanya dentang genta dan wewangian bunga pendeta Sri Sri Ravi Shankar melangkah mendekati sebuah tungku besar dan meletakkan obor ditangannya pada tungku tersebut. Api pun langsung berkobar membakar seluruh area tungku tanpa tersisa.

Jilatan api kian membesar semakin menegaskan bahwa “Api Perdamaian” telah dihidupkan. Seketika aura kebajikan langsung berpendar, merebak mengisi setiap sisi pelataran Garuda Wisnu Kencana Park, Jimbaran, Bali. Dan bagai terkesiap oleh magisnya, ratusan pasang mata tak henti menatap geliat api perdamaian yang tengah mengurai pesannya.

Perayaan pancaran api perdamaian sejatinya bersumber dari upacara, Homa Yadnya. Sebuah ritual keagamaan masyarakat Hindu di Bali. Sekarang dalam perayaannya meski masih dalam balutan ritual agama, pancaran api perdamaian mempunyai manifestasi yang jauh lebih besar. Yaitu menyatukan dunia dalam satu ikatan keluarga. Dengan dipandu pendeta Sri Sri Ravi Shankar seorang pemimpin spiritual asal India dan pendiri The Art Living Foundation, diharapkan bisa memberikan pancaran kedamaian kepada masyarakat dunia.

Sekitar 5000 umat, 700 orang diantaranya utusan dari 27 negara, mengikuti secara hikmat perayaan bertema “Mpu Kuturan untuk Bali 1000 tahun ke depan”. Mpu Kuturan sendiri merupakan orang yang membangun dan meletakkan dasar ritual ini seribu tahun silam. Dia juga berjasa menata kembali tata kemasyarakatan di bidang spiritual (social religius) di masa pemerintahan Raja Udayana. Pada tahun 999 Masehi (Isaka 921) memimpin sebuah pertemuan besar di Samuan Tiga, Gianyar. Dihadiri segenap komponen masyarakat Bali, pertemuan ini menyepakati tiga prinsip dalam menyembah Tuhan yang tunggal dalam wujud Brahma, Vishnu, dan Maheswara.

Banyak faktor yang membuat upacara perayaan Pancaran Api Perdamaian yang dipusatkan di Bali. Bertepatan dengan Hari Raya Saraswati (hari lahirnya ilmu pengetahuan), acara ini dilengkapi unsur-unsur alam yang disatukan dengan elemen ritual yang tumbuh dan berkembang di India dan Pulau Dewata.

Perayaan ini sekaligus menjadi mometum bagi umat manusia untuk mengukur dan merefleksikan diri sejauh mana dirinya telah melangkah mewarnai dunia ini. Saat ini penduduk dunia diperkirakan mencapai 6,8 miliar jiwa dan saling bersaing dalam suasana yang memiriskan. Persengketaan antar suku, pengikisan nilai-nilai kemanusiaan, pertentangan matra ekonomi dan bergesernya pemahaman keagamaan. Pun ditambah dengan semakin menipisnya materi alam yang tersimpan dalam kandungan bumi.

Perubahan cuaca yang sangat drastis dan pemanasan global meningkat setiap saat. Beberapa bagian dunia semakin tak tersentuh perkembangan teknologi dan perekonomiannya. Namun di sisi lain kesenjangan sosial semakin melebar. Kedamaian adalah perwujudan hakiki bagi tiap insani. Kedamaian sangat mungkin didapatkan apabila masing-masing dari kita berani melakukan perubahan. Bukan hanya dalam takaran alam pikiran. Namun juga hati nurani.

Pada akhirnya pengalaman hidup dalam suasana harmonis akan mengkristal seperti tatanan "Tri Hita Karana". Dalam mengatur hubungan harmonis antara sesama umat manusia, lingkungan dan Tuhan Yang Maha Esa. Pun demikian dengan ritual "Homa Yadnya" diharapkan umat manusia mampu memahami konteks kekinian, mengulang peristiwa di Samuan Tiga, Kabupaten Gianyar, Bali, seribu tahun silam. Menjaga spirit keagamaan sekaligus membangun semanagat perdamaian dan kebersamaan.